Faktor Penghambat Integrasi Nasional
Faktor Penghambat Integrasi Nasional | Menurut David Lockwood, konsensus dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama. Kon...
http://mbahkarno.blogspot.com/2013/09/faktor-penghambat-integrasi-nasional.html?m=0
Faktor Penghambat Integrasi Nasional | Menurut David Lockwood, konsensus dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama. Konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat. Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural sehingga selalu muncul potensi konflik sosial berupa gerakan separatisme yang mengancam integrasi nasional.
Sejarah telah membuktikan bahwa sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh berbagai gerakan separatisme. Misalnya, gerakan separatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, APRA, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan banyak penderitaan dan korban. Pada saat ini gerakan separatis masih terus berlangsung seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Berbagai gerakan separatis tersebut masih membayangi ketahanan nasional Indonesia sehingga berpotensi untuk menghancurkan integrasi bangsa yang secara terus-menerus dibangun.
Menurut Samuel Huntington, Indonesia pada akhir abad ke-20 adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk mengalami disintegrasi setelah Yugoslavia dan Uni Soviet. Selain itu, menurut Clifford Geertz apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik maka Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.
Menurut Koentjaraningrat, di Indonesia terdapat 656 suku bangsa di berbagai daerah. Selain itu, Indonesia juga memiliki keanekaragaman suku bangsa yang memiliki bahasa, adat istiadat, sistem kepercayaan, organisasi sosial, dan perilaku budaya yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk dalam sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa yang tercermin secara horizontal dan vertikal menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi social politik. Kerangka konseptual struktur masyarakat Indonesia yang majemuk selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk menurut Van de Berg, antara lain sebagai berikut.
1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan atau subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat nonkomplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang lain.
Menurut Furnivall, dalam bukunya The Netherlands Indie masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Dengan struktur sosial yang kompleks, Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit berintegrasi secara permanen. Secara antropologis, diferensiasi sosial yang melingkupi struktur social kemajemukan msyarakat Indonesia adalah pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom differentiation) karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (structural differentiation) disebabkan oleh perbedaan kemampuan untuk mengakses sumbersumber ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial antara etnik yang berbeda.
Salah satu dampak kesenjangan antara etnik yang berbeda adalah lahirnya konflik etnopolitik (ethnopolitic conflict). Etnopolitic conflict yang melahirkan gerakan separatisme di berbagai negara selalu berpangkal kepada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antaretnik di Indonesia. Sejak tahun 1995–2002 di Indonesia telah terjadi sebanyak 300 kasus kerusuhan dan konflik sosial yang bernuansa SARA seperti kasus Tasikmalaya, Ketapang, Sambas, dan Ambon yang berpangkal pada permasalahan yang sama. Salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan oleh program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu menikmati hasil-hasil pembangunan. Etnopolitic conflict terjadi dalam dua dimensi, yaitu dimensi pertama, konflik di dalam tingkatan ideologis. Konflik ini terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis. Konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.
Misalnya, usaha pemerintah untuk memeratakan penyebaran jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa melalui program transmigrasi yang menimbulkan berbagai persoalan. Di samping kesulitan untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal, para transmigran dari Jawa juga sering mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Para transmigran yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik akan lebih mudah untuk merespons hasil pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah RI.
Disalin dari Buku Sekolah Elektronik Antropologi (Siany L, dan Atiek Catur B)
Sejarah telah membuktikan bahwa sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh berbagai gerakan separatisme. Misalnya, gerakan separatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, APRA, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan banyak penderitaan dan korban. Pada saat ini gerakan separatis masih terus berlangsung seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Berbagai gerakan separatis tersebut masih membayangi ketahanan nasional Indonesia sehingga berpotensi untuk menghancurkan integrasi bangsa yang secara terus-menerus dibangun.
Menurut Samuel Huntington, Indonesia pada akhir abad ke-20 adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk mengalami disintegrasi setelah Yugoslavia dan Uni Soviet. Selain itu, menurut Clifford Geertz apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik maka Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.
Menurut Koentjaraningrat, di Indonesia terdapat 656 suku bangsa di berbagai daerah. Selain itu, Indonesia juga memiliki keanekaragaman suku bangsa yang memiliki bahasa, adat istiadat, sistem kepercayaan, organisasi sosial, dan perilaku budaya yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk dalam sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa yang tercermin secara horizontal dan vertikal menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi social politik. Kerangka konseptual struktur masyarakat Indonesia yang majemuk selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk menurut Van de Berg, antara lain sebagai berikut.
1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan atau subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat nonkomplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang lain.
Menurut Furnivall, dalam bukunya The Netherlands Indie masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Dengan struktur sosial yang kompleks, Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit berintegrasi secara permanen. Secara antropologis, diferensiasi sosial yang melingkupi struktur social kemajemukan msyarakat Indonesia adalah pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom differentiation) karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (structural differentiation) disebabkan oleh perbedaan kemampuan untuk mengakses sumbersumber ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial antara etnik yang berbeda.
Salah satu dampak kesenjangan antara etnik yang berbeda adalah lahirnya konflik etnopolitik (ethnopolitic conflict). Etnopolitic conflict yang melahirkan gerakan separatisme di berbagai negara selalu berpangkal kepada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antaretnik di Indonesia. Sejak tahun 1995–2002 di Indonesia telah terjadi sebanyak 300 kasus kerusuhan dan konflik sosial yang bernuansa SARA seperti kasus Tasikmalaya, Ketapang, Sambas, dan Ambon yang berpangkal pada permasalahan yang sama. Salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan oleh program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu menikmati hasil-hasil pembangunan. Etnopolitic conflict terjadi dalam dua dimensi, yaitu dimensi pertama, konflik di dalam tingkatan ideologis. Konflik ini terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis. Konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.
Misalnya, usaha pemerintah untuk memeratakan penyebaran jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa melalui program transmigrasi yang menimbulkan berbagai persoalan. Di samping kesulitan untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal, para transmigran dari Jawa juga sering mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Para transmigran yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik akan lebih mudah untuk merespons hasil pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah RI.
Disalin dari Buku Sekolah Elektronik Antropologi (Siany L, dan Atiek Catur B)