Coreng hitam Penempatan dan Perlindungan TKI
Masalah perlakuan buruk kepada TKI kita di Negara lain memang sudah bukan menjadi masalah baru, mulai dari masalah keterlambatan pembayaran...
http://mbahkarno.blogspot.com/2012/07/coreng-hitam-penempatan-dan.html?m=0
Masalah perlakuan buruk kepada TKI kita di Negara lain memang sudah bukan menjadi masalah baru, mulai dari masalah keterlambatan pembayaran gaji, penyiksaan, pemerkosaan, bahkan sampai hukuman mati. Hampir setiap tahun –bahkan setiap bulan-, selalu saja ada pemberitaan tentang nasib buruk TKI kita, Saking seringnya, sampai-sampai pertanyaan seperti “Kenapa TKI kita disiksa?” atau “Disiksa karena apa?” sudah tidak pernah dipertanyakan, digantikan dengan pertanyaan “Kali ini siapa yang disiksa? Dan di negara mana?” atau “kali ini sekedar disiksa atau diperkosa?”.
Bisa diibaratkan, Kondisi seperti ini membuat pemerintah bak kisah kain kafan yang dipotong sembarangan, tak sesuai dengan ukuran si mayit, saat hendak digunakan untuk membungkus jenazah, terjadilah yang namanya sum zero: ditutup kepala, kaki terlihat. Ditutup kaki, kepala mencuat, selalu ada salah satu pihak yang dikorbankan, begitu pula dengan wajah per-TKI-an Negara kita ini. Jika ijin bekerja ke luar negeri untuk para TKI dikurangi atau dihapuskan, maka pendapatan Devisa Negara ini akan menurun, Namun jika tetap dibiarkan saja dengan keadaan yang masih seperti itu-itu saja, maka bukan mustahil akan makin banyak TKI-TKI kita yang disika di Negara luar sana.
Lalu sebenarnya, apa sebab utama di balik layar dilema ini? Jawabannya simple saja, kurangnya ketegasan dan pengawasan terhadap perundang-undangan tenaga kerja. Perlu diakui memang, bahwa Pemerintah lewat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memang sudah menyusun Undang-undang sedemikian rupa demi melindungi para Buruh Migran Kita, Mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sampai Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Namun sayang sungguh sayang, keberadaan Undang-undang tadi hanya sebatas timun bengkok, tidak diperhitungkan, bak pepatah “ada namun tak menggenapkan, pun tiada, namun tak mengganjilkan”, Intinya, Perundang-undangan hanay diakui keberadaanya, namun kurang diperhitungkan fungsinya. Kenapa? Sekali lagi saya tekankan, karena kurangnya ketegasan dan pengawasan.
Saya ambil contoh yang paling gamblang. Biaya penempatan Buruh migrant dari mulai general Check up, perlengkapan dokumen, sampai pemberangkatan secara resmi adalah sebesar Rp. 13.318.800,- namun nyatanya, masih banyak (atau sangat banyak) TKI kita yang harus membayar lebih dari angka itu, bahkan ada beberapa TKI yang harus membayar biaya penempatan lebih dari 24 juta, yang artinya adalah dua kali lipat dari biaya resmi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Contoh di atas menjadi bukti bahwa masih lemahnya pengawasan undang-undang ketenagakerjaan kita, Logikannya, Bagaimana mau menerapkan perlindungan optimal untuk para buruh migran jika pengawasan terhadap penempatan TKI saja masih lemah.
Dalam mengatasi dilema ini, saya sangat menyarankan kepada Kementerian tenaga kerja dan Transmigrasi kita untuk belajar pada negeri Belanda. Karena, Negeri yang oleh mbah-mbah kita dipanggil dengan nama Londho itu adalah Negara yang mampu menerapkan perundang-undangan tenaga kerja dengan sangat baik, sehingga tingkat kemakmuran dan kesejahteraan tenaga kerja Belanda (Lokal dan Migran) sangat tinggi.
Undang-undang tenaga kerja yang dibuat oleh kementerian tenaga kerja di Belanda (di Belanda, kementerian Tenaga Kerja digabung dengan kementerian hubungan Sosial: Ministry of Social affairs and Employment) berjalan sangat baik. Sebabnya satu, karena penerapan undang-undang tenaga kerja di Belanda diawasi dengan sangat ketat oleh lembaga pengawas Undang-Undang perundangan yang disebut dengan Labour Inspectorate, selain itu, hukuman yang diberikan kepada pelanggaran undang-undang tenaga kerja di belanda juga sangat berat, mulai dari denda yang nilainya sangat besar, sampai dicabutnya ijin Usaha di belanda selama-lamanya (dan tentunya tak ada suap menyuap layaknya di Negara kita).
Jadi tak heran jika Negara yang punya banyak nama ini (Holland, Dutch, Netherland) berhasil menorehkan prestasi cemerlang di bidang ketenagakerjaan, diantaranya adalah negara terbaik kedua dengan tingkat Work-Life balance terbaik, Masuk 10 besar selama 5 tahun berturut-turut sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan buruh tertinggi, dan yang paling moncer, diu tahun 2007, Belanda menjadi negara dengan tingkat pengangguran terendah di dunia (hanya 3,5%). Alamak
Mungkin terlalu muluk untuk bisa meniru secara sempurna sistem yang ada di Belanda ini, Namun saya yakin, dengan kerjasama semua pihak yang berkepentingan dan pembelajaran yang berkesinambungan, cepat atau lambat, kata “TKI disiksa” atau “TKI diperkosa” akan hilang dari kosakata pengucapan bahasa kita.
“Pak Pemerintah! (maaf, saya tidak tahu pemerintah itu jenis kelaminnya apa, tapi ijinkan saya untuk menyebutnya sebagai ‘pak’, agar lebih kelihatan macho). Para Wakil rakyat kau beri fasilitas berlimpah ruah, ratusan jutaan rupiah, serta mobil dan rumah dinas yang mewah, padahal saya lihat, mereka suka berfoya-foya menghabiskan uang Negara dan hasil kinerja mereka juga tak terlalu kentara. Lalu apa yang harusnya pantas diberikan kepada pada para buruh migran yang berjuang di sana memberikanmu 80 triliun uang Devisa?” Saya tahu, memang tak mungkin memberikan para pahlawan devisa itu uang sebesar yang diberikan pada wakil rakyat, Tapi setidaknya, berikanlah mereka perlindungan. Itu saja pak, tidak lebih.
Bisa diibaratkan, Kondisi seperti ini membuat pemerintah bak kisah kain kafan yang dipotong sembarangan, tak sesuai dengan ukuran si mayit, saat hendak digunakan untuk membungkus jenazah, terjadilah yang namanya sum zero: ditutup kepala, kaki terlihat. Ditutup kaki, kepala mencuat, selalu ada salah satu pihak yang dikorbankan, begitu pula dengan wajah per-TKI-an Negara kita ini. Jika ijin bekerja ke luar negeri untuk para TKI dikurangi atau dihapuskan, maka pendapatan Devisa Negara ini akan menurun, Namun jika tetap dibiarkan saja dengan keadaan yang masih seperti itu-itu saja, maka bukan mustahil akan makin banyak TKI-TKI kita yang disika di Negara luar sana.
Lalu sebenarnya, apa sebab utama di balik layar dilema ini? Jawabannya simple saja, kurangnya ketegasan dan pengawasan terhadap perundang-undangan tenaga kerja. Perlu diakui memang, bahwa Pemerintah lewat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memang sudah menyusun Undang-undang sedemikian rupa demi melindungi para Buruh Migran Kita, Mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sampai Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Namun sayang sungguh sayang, keberadaan Undang-undang tadi hanya sebatas timun bengkok, tidak diperhitungkan, bak pepatah “ada namun tak menggenapkan, pun tiada, namun tak mengganjilkan”, Intinya, Perundang-undangan hanay diakui keberadaanya, namun kurang diperhitungkan fungsinya. Kenapa? Sekali lagi saya tekankan, karena kurangnya ketegasan dan pengawasan.
Saya ambil contoh yang paling gamblang. Biaya penempatan Buruh migrant dari mulai general Check up, perlengkapan dokumen, sampai pemberangkatan secara resmi adalah sebesar Rp. 13.318.800,- namun nyatanya, masih banyak (atau sangat banyak) TKI kita yang harus membayar lebih dari angka itu, bahkan ada beberapa TKI yang harus membayar biaya penempatan lebih dari 24 juta, yang artinya adalah dua kali lipat dari biaya resmi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Contoh di atas menjadi bukti bahwa masih lemahnya pengawasan undang-undang ketenagakerjaan kita, Logikannya, Bagaimana mau menerapkan perlindungan optimal untuk para buruh migran jika pengawasan terhadap penempatan TKI saja masih lemah.
Dalam mengatasi dilema ini, saya sangat menyarankan kepada Kementerian tenaga kerja dan Transmigrasi kita untuk belajar pada negeri Belanda. Karena, Negeri yang oleh mbah-mbah kita dipanggil dengan nama Londho itu adalah Negara yang mampu menerapkan perundang-undangan tenaga kerja dengan sangat baik, sehingga tingkat kemakmuran dan kesejahteraan tenaga kerja Belanda (Lokal dan Migran) sangat tinggi.
Undang-undang tenaga kerja yang dibuat oleh kementerian tenaga kerja di Belanda (di Belanda, kementerian Tenaga Kerja digabung dengan kementerian hubungan Sosial: Ministry of Social affairs and Employment) berjalan sangat baik. Sebabnya satu, karena penerapan undang-undang tenaga kerja di Belanda diawasi dengan sangat ketat oleh lembaga pengawas Undang-Undang perundangan yang disebut dengan Labour Inspectorate, selain itu, hukuman yang diberikan kepada pelanggaran undang-undang tenaga kerja di belanda juga sangat berat, mulai dari denda yang nilainya sangat besar, sampai dicabutnya ijin Usaha di belanda selama-lamanya (dan tentunya tak ada suap menyuap layaknya di Negara kita).
Jadi tak heran jika Negara yang punya banyak nama ini (Holland, Dutch, Netherland) berhasil menorehkan prestasi cemerlang di bidang ketenagakerjaan, diantaranya adalah negara terbaik kedua dengan tingkat Work-Life balance terbaik, Masuk 10 besar selama 5 tahun berturut-turut sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan buruh tertinggi, dan yang paling moncer, diu tahun 2007, Belanda menjadi negara dengan tingkat pengangguran terendah di dunia (hanya 3,5%). Alamak
Mungkin terlalu muluk untuk bisa meniru secara sempurna sistem yang ada di Belanda ini, Namun saya yakin, dengan kerjasama semua pihak yang berkepentingan dan pembelajaran yang berkesinambungan, cepat atau lambat, kata “TKI disiksa” atau “TKI diperkosa” akan hilang dari kosakata pengucapan bahasa kita.
“Pak Pemerintah! (maaf, saya tidak tahu pemerintah itu jenis kelaminnya apa, tapi ijinkan saya untuk menyebutnya sebagai ‘pak’, agar lebih kelihatan macho). Para Wakil rakyat kau beri fasilitas berlimpah ruah, ratusan jutaan rupiah, serta mobil dan rumah dinas yang mewah, padahal saya lihat, mereka suka berfoya-foya menghabiskan uang Negara dan hasil kinerja mereka juga tak terlalu kentara. Lalu apa yang harusnya pantas diberikan kepada pada para buruh migran yang berjuang di sana memberikanmu 80 triliun uang Devisa?” Saya tahu, memang tak mungkin memberikan para pahlawan devisa itu uang sebesar yang diberikan pada wakil rakyat, Tapi setidaknya, berikanlah mereka perlindungan. Itu saja pak, tidak lebih.