Ir Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar
Sungguh sedih rasanya saat mengetahui bahwa ternyata masih banyak anak Indonesia yang bingung tentang tempat kelahiran Presiden Pertama neg...
http://mbahkarno.blogspot.com/2011/08/ir-soekarno-lahir-di-surabaya-bukan-di.html
Sungguh sedih rasanya saat mengetahui bahwa ternyata masih banyak anak Indonesia yang bingung tentang tempat kelahiran Presiden Pertama negara kita, Ir Soekarno. Betapa tidak, ternyata banyak yang menganggap bahwa Soekarno lahir di Blitar, kota yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Nyatanya Soekarno tidak dilahirkan di sana, melainkan di Surabaya.
Baiklah. Kita mengilas balik sejarah kelahiran Bung Karno, dari “geger” pernikahan beda suku, beda agama antara Raden Soekeni Sosrodihardjo yang Islam Theosof (Ayah Soekarno) dan berasal dari Jawa, dengan Ida Ayu Nyoman Rai yang Hindu dan berasal dari Gianyar, Bali. Untuk menikahi Idayu secara Islam, maka Idayu terlebih dulu harus masuk Islam. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah kawin lari.
Seperti penuturan Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, bahwa untuk kawin lari menurut kebiasaan di Bali, harus mengikuti tata-car tertentu. Kedua “merpati” itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya.
Soekeni dan Idayu mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan Soekeni. Keluarga Idayu kemudian datang hendak menjemput mempelai wanita, tetapi Kepala Polisi tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya.
Saat tiba mereka harus dihadapkan ke pengadilan, Idayu pun sempat ditanya oleh hakim, “Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri” Dan Idayu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.” Maka, tiada pilihan bagi mereka untuk mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian, pengadilan mendenda Idayu 25 ringgit, yang nilai sama dengan 25 dolar ketika itu. Idayu mewarisi beberapa perhiasan emas, dan untuk membayar denda itu, ia menjualnya.
Tak lama setelah pernikahan mereka, sekitar tahun 1900, Soekeni mengajukan permohonan pindah tugas ke wilayah Jawa. Pemerintah mengabulkan, dan memindahkan Soekeni ke Surabaya. Keluarga muda ini tinggal di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Di sanalah Putra Sang Fajar dilahirkan.
Seperti penuturan Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, bahwa untuk kawin lari menurut kebiasaan di Bali, harus mengikuti tata-car tertentu. Kedua “merpati” itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya.
Soekeni dan Idayu mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan Soekeni. Keluarga Idayu kemudian datang hendak menjemput mempelai wanita, tetapi Kepala Polisi tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya.
Saat tiba mereka harus dihadapkan ke pengadilan, Idayu pun sempat ditanya oleh hakim, “Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri” Dan Idayu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.” Maka, tiada pilihan bagi mereka untuk mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian, pengadilan mendenda Idayu 25 ringgit, yang nilai sama dengan 25 dolar ketika itu. Idayu mewarisi beberapa perhiasan emas, dan untuk membayar denda itu, ia menjualnya.
Tak lama setelah pernikahan mereka, sekitar tahun 1900, Soekeni mengajukan permohonan pindah tugas ke wilayah Jawa. Pemerintah mengabulkan, dan memindahkan Soekeni ke Surabaya. Keluarga muda ini tinggal di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Di sanalah Putra Sang Fajar dilahirkan.
Diambil dari : Sekedar Tahu | Dikutip dari Blog Roso Daras