Sertifikasi guru, antara kenaikan gaji dan loyalitas profesi
Hanya satu hal yang pertama kali akan saya lakukan jika saya dipaksa untuk membicarakan tentang fakta pendidikan di negeri tercinta kita in...
http://mbahkarno.blogspot.com/2012/11/sertifikasi-guru-antara-kenaikan-gaji.html
Hanya satu hal yang pertama kali akan saya lakukan jika saya dipaksa untuk membicarakan tentang fakta pendidikan di negeri tercinta kita ini, dan hal itu adalah mengelus dada. Bagaimana tidak, sebagai negara yang punya banyak sekali sumber daya alam kualitas tinggi serta sumber daya manusia pilihan, negara kita masih tetap tertinggal di bidang pendidikan.
Dan tak tanggung-tanggung, negara kita berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index, masih kalah dengan Malaysia (62) dan Brunei (34).
Oke, lebih lanjut lagi akan saya beberkan sedikit (atau mungkin, banyak) tentang carut marutnya dunia pendidikan kita, silahkan disimak.
Beberapa fakta carut marut pendidikan kita
Jika dicermati, dari keterangan di atas, ternyata masalah pendidikan di negara kita ini begitu kompleks, dan menyerang hampir di semua bidang, mulai dari pengajar, sarana dan prasarana, sampai masalah biaya.
Carut marut pendidikan yang terjadi di Indonesia ini tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh kementerian pendidikan kita, sudah banyak sekali upaya-upaya yang dilaksanakan guna mengatasi masalah pendidikan di negeri kita ini, salah satunya adalah penetapan Standar Nasional pendidikan yang disusun dalam PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, serta bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (BAB II pasal 3 dan 4)
Walau PP ini dirasa masih belum sepenuhnya terimplementasikan, namun setidaknya, Standar Nasional Pendidikan yang disusun ini bisa menjadi tolok ukur kualifikasi pendidikan kita di masa sekarang dan di masa mendatang.
Menurut PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, ada 8 pokok standar nasional pendidikan yang harus dicapai, yaitu:
a. standar isi
b. standar proses
c. standar kompetensi lulusan
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan
e. standar sarana dan prasarana
f. standar pengelolaan
g. standar pembiayaan
h. standar penilaian pendidikan
Dari 8 standar Nasional Pendidikan di atas, ada satu standar yang bagi saya menarik untuk diulas, yaitu standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Mengapa saya mengulas tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan? Karena menurut saya, Pendidik atau guru adalah profesi yang eksklusif, profesi ini adalah satu-satunya profesi yang mendapat mandat langsung dari isi pembukaan undang-undang dasar 1945, mandat berupa tugas yang cukup berat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, pendidik atau guru adalah ujung tombak pendidikan kita, berhasil atau tidaknya program pendidikan kita sangat dipengaruhi oleh kinerja profesi yang satu ini.
Guru, Ujung tombak program pendidikan
Dan jika kembali menilik fakta pendidik di negeri kita, maka dengan sangat berat hati, saya harus kembali mengelus dada (walau elusannya tidak sekeras elusan yang pertama). Karena ternyata, "54% Guru di Indonesia Tidak Memiliki Kualifikasi yang Cukup untuk Mengajar". Pahit dan memprihatinkan memang. Tapi tentu saja fakta ini harus kita terima dengan lapang dada (baca: mengelus dada), karena memang itulah kenyataanya.
Dan berbicara soal kualifikasi guru, sebenarnya kualifikasi apakah yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik agar bisa dikategorikan sebagai guru yang layak mengajar? Jika kembali mengacu kepada PP No 19 Tahun 2005 Tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan), maka seorang pendidik bisa disebut sebagai guru layak ajar jika memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun yang dimaksud dengan kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun kualifikasi yang harus dipenuhi oleh setiap pendidik untuk tiap jenjang kepengajaran adalah sesuai dengan infografik yang saya susun di bawah ini:
Jadi jelas sekali bahwasannya selain kualifikasi akademik, seorang pendidik juga harus mempunyai sertifikat profesi guru, sertifikat profesi guru ini didapat dengan cara mengikuti Uji sertifikasi guru.
Untuk masalah kualifikasi akademik (pendidikan minimal), itu sudah sangat jelas dan mutlak penting serta memang sangat diperlukan, jadi tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun untuk masalah sertifikasi guru, masih banyak terjadi pro kontra. Sebagian pihak menilai sertifikasi guru itu penting karena itu sangat berpengaruh terhadap kelayakan pengajaran guru, tapi sebagian pihak lain menilai sertifikasi guru itu tidak penting, karena dinilai hanya memboroskan uang negara tanpa bisa memberikan peningkatan kualitas guru secara signifikan. Hal ini tentu sangat wajar, karena memang masing-masing pihak pasti punya argumen sendiri.
Nyatanya, masalah pelik yang terjadi bukanlah masalah penting atau tidaknya sertifikasi, tapi bagaimana mental para pengajar untuk menyikapi sertifikasi guru tersebut.
Uji sertifikasi sendiri sejatinya dimaksudkan pemerintah untuk meningkatkan mutu pengajar yang nantinya diharapkan bisa memenuhi standar Nasional Pendidikan, sehingga di masa depan akan tercipta mutu pendidikan yang berkualitas (yang malaupun pelan dan bertahap, tetapi pasti).
Namun kenyataanya, yang dipahami oleh para guru adalah sebaliknya, Uji sertifikasi dianggap sebagai ajang unjuk gigi dan kompetisi peningkatan karier yang erat hubungannya dengan gaji.
Sertifikasi guru dianggap identik dengan kenaikan gaji
Okelah, memang sudah bukan rahasia lagi, bahwasanya sekarang uji sertifikasi di mata para guru Indonesia pada umumnya adalah gerbang reinkarnasi untuk menuju kepada peningkatan gaji yang lebih tinggi. Hal ini pulalah yang kemudian memacu para guru untuk bisa lulus uji sertifikasi, bagaimanapun caranya, tak peduli dengan cara yang kotor dan culas. Maka tak heran jika para guru rela menghabiskan uang sampai berjuta-juta hanya untuk bisa lulus uji sertifikasi guru ini.
Uji Sertifikasi Guru
Tentu hal ini sangat beralasan, mengingat di jaman yang serba modern seperti sekarang ini, hampir semuanya dinilai dengan materi. Bahkan berbagai penghargaan pendidik seperti piagam, trofi, serta satya lencana pendidikan pun akan kurang bernilai jika tidak dibarengi dengan insentif (baca: bonus atau kenaikan gaji).
Kondisi ini terkadang malah menjadi ladang empuk bagi para birokrat pendidikan yang kurang bertanggung jawab, mereka menawari para guru untuk mengikuti pelatihan dan try out uji sertifikasi guru (tidak resmi tentunya), dengan biaya yang cukup tinggi, antara Rp 150.000,- sampai Rp 400.000,- (yang bodohnya, masih ada saja guru yang mau). Dan fenomena ini tidak terjadi hanya di ibukota saja, melainkan hampir di semua wilayah di Indonesia, memprihatinkan bukan?.
Kalo sudah begini, apakah sertifikasi guru bisa menjamin peningkatan kualitas para pendidik? Lagi-lagi jawabannya kembali pada pendidik itu sendiri.
Karena pada kenyataanya, kita masih punya stok pendidik yang benar-benar punya dedikasi tinggi dan loyal pada profesi mereka. Mereka inilah pendidik yang sebenarnya, merekalah pendidik yang menyadari benar betapa tugas mencerdaskan bangsa berada di pundaknya. Mereka menganggap sertifikasi guru bukan sebagai gerbang kenaikan gaji, tapi lebih sebagai uji konsistensi dalam menjalankan profesi.
Pendidik-pendidik macam inilah yang merasa sangat bangga jika lulus uji sertifikasi, pun tidak kecewa jika harus gagal dalam uji sertifikasi. Karena di mata mereka, kualitas pendidik bukan ditentukan sepenunuhnya oleh sertifikasi, melainkan juga oleh ketulusan mendidik, etos kerja, dan dedikasi.
Harapan kedepan-nya sesungguhnya sederhana, Kita semua berharap bangsa ini dipenuhi oleh pendidik-pendidik yang punya loyalitas profesi dan dedikasi tinggi untuk mengajar, bukan sekedar pengajar yang hanya mengejar pengakuan dan tunjangan yang tinggi, tanpa diimbangi dengan kualitas dan dedikasi mengajar yang mumpuni.
Bisakah terwujud? Insya Alloh bisa. Kita berdoa saja.
Catatan tambahan:
Selain pengacuan standar kualifikasi akademik dan sertifikasi, dalam keadaan tertentu, seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian namun memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan, maka dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan (mengacu pada PP No 19 Tahun 2005 Tentang SNP, bab VI, pasal 28, ayat 4).
Sumber gambar dan Referensi :
http://indonesiaberkibar.org
http://www.manadopost.co.id/
http://hanya-kutipan.blogspot.com
http://ujikompetensiguru.com
http://www.pendidikankukar.com/
http://harniewinata.files.wordpress.com
http://www.radarnusantara.com
PP No 19 Tahun 2005
http://google.co.id
dan sumber-sumber lainnya.